19 Juli 2010

BENCANA LEBIH BESAR AKAN MENDAMPINGI BOM LPG

Oleh : Sapto Prajogo

Sekarang ini berbagai media begitu rajin menyuguhkan tayangan meledaknya tabung gas LPG. Terbayang betapa marak dan riuhnya ledakan-ledakan yang tersebar di berbagai daerah. Bila dimaknai, berita ini sangat tidak lucu dan pastinya sangat memalukan. Betapa tidak, negara lain sibuk mengembangkan dan memproduksi barang yang berkualitas, agar mampu bersaing di skala global. Sementara kita sibuk mencoreng muka sendiri dengan pamer produksi barang yang tidak berkualitas.

Dengan tingkat pemahaman yang dimiliki manusia disaat sekarang, seharusnya pemakaian LPG tidak akan bermasalah dan aman-aman saja. Bila kenyataannya tidak aman, berarti aspek kejahatan dan ketamakanlah yang menjadi penyebab utama. Jahat dan tamak dengan memproduksi set kompor yang tidak memenuhi standar dan mematikan. ”Si raja tega” berbuat jahat dan tamak dengan membiarkan barang yang tidak berkualitas tadi beredar di pasaran.

Memang miris, energi merupakan kebutuhan primer, untuk alasan bertahan hidup maka manusia akan terus mencari dan memanfaatkan energi. Bila masyarakat tidak diberi alternatif, maka sebahaya apapun LPG tersebut akan tetap dimanfaatkan oleh masyarakat. Bila sistem kompor LPG dibawah standar keamanan maka wajar bila ada yang menyebutkan bahwa tabung LPG bagaikan sebuah bom yang disimpan di rumah penduduk.

Kisah bencana bom LPG ini diawali dengan adanya kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Kebijakan ini diperkirakan mampu menghemat Anggaran Negara. Perlu diketahui, bahwa untuk urusan minyak tanah, Pemerintah telah menggelontor subsidi yang sangat besar. Selain itu cadangan minyak bumi kita memang sudah menipis dan saatnya mencari energi alternatif pengganti minyak bumi. Namun apapun kebijakan itu, haruslah melewati perencanaan dan kajian mendalam yang bersifat komprehensip serta melewati tahapan-tahapan yang rasional.

Namun sayangnya kebijakan yang mulia ini tanpa melewati kajian yang komprehensip dan terkesan asal-asalan. Pernyataan ini tidaklah berlebihan, apalagi bila mengamati kenyataan-kenyataan pahit yang ada di lapangan. Energi menjadi sangat penting, dan dipastikan dipakai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sampai dengan kebutuhan sistem proses produksi. Bicara pemanfaatan energi, seharusnya tidak hanya bicara kecukupan pasokan, namun harus juga bicara teknologi pemanfaatannya. Pemerintah memang telah bicara sampai dengan teknologi pemanfaatannya, terbukti dengan pembagian gratis set kompor gas untuk masyarakat rumah tangga. Namun bagaimana dengan teknologi pemakaian LPG untuk sistem proses produksi?.

Bagi industri besar dipastikan tidak akan menemui kesulitan, permasalahan yang dihadapi dengan mudah diselesaikan dengan membayar konsultan yang handal. Berbeda dengan industri kecil yang biasanya cenderung beroperasi mengikuti warisan konvensional, kebijakan konversi minyak tanah ke LPG dipastikan akan menyebabkan ”kisruh” yang mendasar. Bagi industri kecil yang kebetulan memanfaatkan kompor yang umum beredar di pasaran dipastikan tidak akan menemui kesulitan. Namun bagaimana dengan industri kecil yang memanfaatkan teknologi konversi energi yang tidak umum di pasaran? Misalkan berupa tanur pembakaran atau ”kompor” yang sangat besar.

Nampaknya sentuhan kebijakan konversi minyak tanah ke LPG bagi industri kecil hanyalah sebatas pertimbangan kecukupan pasokan LPG. Sentuhan kebijakan diperkirakan tidak sampai pada persiapan cara pemanfaatan teknologi konversi energi. Penulis telah mengamati hal ini di banyak industri kecil di berbagai daerah selama hampir 3 tahun, dan banyak ditemui kenyataan pahit berupa kebangkrutan karena mereka tidak mampu lagi berproduksi. Hal itu disebabkan oleh ketidak-tahuan cara memanfaatkan LPG sebagai suport sistem produksinya. Pastinya mereka telah dilanda kebingungan, karena tidak adanya tempat untuk berkonsultasi. Secara mandiri, beberapa memang mampu bertahan dengan berkreativitas memanfaatkan LPG dan banyak diantaranya beralih energi primer dengan memanfaatkan solar dan bahkan memanfaatkan kayu bakar.

Berbagai sumber menyebutkan bahwa sektor informal --termasuk di dalamnya industri kecil-- ternyata mampu menyerap 99,6% tenaga kerja Indonesia. Pada saat Indonesia dilanda krisis moneter, sektor informal telah mantap berperan menyelamatkan ekonomi di Negeri ini. Karena berdimensi kecil, maka mereka dengan luwesnya menggeliat dan menangkis tekanan krisis moneter. Nampaknya kenyataan ini membuat Pemerintah meyakini bahwa ”tekanan” kebijakan konversi minyak tanah ke LPG ini akan mampu diselesaikan dengan manis oleh sektor informal, toh teknologi yang diperlukan bukanlah teknologi tinggi.

Pemerintah seharusnya memperhitungkan munculnya segala risiko yang diakibatkan oleh sebuah kebijakan. Bila keberadaan sektor informal memang dianggap penting, semestinya jajaran pemerintah siap menyelesaikan permasalahan kesulitan teknologi konversi energi.

Kelalaian ini dipastikan terjadi efek ganda pada hancurnya sektor informal, hancurnya ekonomi kerakyatan dan terancamnya jutaan lapangan pekerjaan di Indonesia. Bila tidak segera diantisipasi, maka dampak negatif kebijakan konversi minyak tanah ke LPG bukan hanya bahaya tersebarnya bom LPG ke rumah penduduk, namun lebih pada sebuah bencana besar berupa kehancuran sektor informal.
(Sumber : Harian REPUBLIKA, Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar