26 Desember 2008

AKIBAT TERSINGKAPNYA BETIS KEN DEDES

Oleh: Sapto Prajogo

Ken Arok adalah putra Ken Endok. Ketika masih bayi, Ken Arok dibuang dan ditemukan oleh seorang pencuri. Selanjutnya Ken Arok tumbuh menjadi seorang pemuda yang gemar berjudi dan akhirnya menjadi perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kediri.

Dalam perjalanannya, Ken Arok bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung seorang akuwu di Tumapel. Tunggul Ametung beristrikan Ken Dedes, seorang perempuan yang terkenal sangat jelita. Konon cerita, akibat tersingkapnya betis Ken Dedes, maka membuat Ken Arok bangkit hasrat untuk merebut Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung yang terkenal sakti mandraguna.

Sebagai upaya dapat membunuh Tunggul Ametung , Ken Arok memerlukan sebilah keris ampuh. Untuk itu, Ken Arok minta bantuan dibuatkan keris ampuh kepada seorang ahli pusaka yang bernama Empu Gandring. Hasil negosiasi, disepakati waktu penyelesaian selama 1 tahun. Namun Ken Arok tidak sabar, sehingga dalam waktu lima bulan Ken Arok sudah datang untuk mengambil keris pesanannya. Melihat keris belum selesai, Ken Arok menjadi murka, sehingga keris yang belum sempurna itu ditusukkan ke dada Empu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Empu Gandring sempat mengucapkan kutukan, bahwa keris itu kelak akan membunuh 7 orang, termasuk Ken Arok sendiri.

Dengan berbekal keris sakti, Ken Arok menjalankan politik liciknya. Mula-mula Ken Arok meminjamkan kerisnya kepada Kebo Ijo, seorang rekan yang memiliki sifat suka pamer. Selanjutnya mudah ditebak, Kebo Ijo pasti akan dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris tersebut memang milik Kebo Ijo.

Dengan lihainya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Ijo. Kemudian keris tersebut dipergunakan untuk membunuh Tunggul Ametung. Dengan bukti sebilah keris yang masih menancap di dada mayat Tunggul Ametung, maka Kebo Ijo berstatus tertuduh dan dieksekusi mati. Akhirnya Ken Arok sukses dengan berhasil menikahi Ken Dedes. Namun demikian, kisah sukses Ken arok ini berakhir tragis dengan terbuktinya kutukan Empu Gandring.

Kontek sekarang, berbagai daerah di Indonesia sedang mempersiapkan sebuah prosesi Pemilu 2009. Diperkirakan kisah pertarungan ini akan semakin seru menjelang mendekati tanggal pemilihan. Masing-masing bakal calon memiliki tim sukses dengan strategi ampuhnya yang diyakini dapat memenangkan pertarungan. Memang luar biasa, kursi jabatan bagaikan sebuah magnit raksasa yang mampu membangkitkan hasrat bagi semua bakal calon dan bahkan beserta tim suksesnya.

Sah saja bagi siapapun bila memiliki hasrat yang luar biasa dalam meraih kursi jabatan tersebut. Namun demikian, prosesi Pemilu ini harus tetap dikerangkai oleh sebuah sistem paradigma yang baik dan sempurna. Sehingga di masa yang akan datang, kehidupan berbangsa dan bernegara akan tetap dapat dilalui dengan melewati harmonisa yang berkelanjutan.

Kisah Ken Arok yang berhasrat untuk mendapatkan Ken Dedes pantas menjadi pelajaran. Keris Empu Gandring dapat diibaratkan sebagai sebuah sistem paradigma yang menyimpang. Apabila sistem paradigma tersebut sengaja dimanfaatkan dengan menabrak kearifan-kearifan, maka dikawatirkan dapat beresiko pada rusaknya tatanan masyarakat dan bahkan menggerus sampai 7 generasi. Lebih bijaksana bila sekarang mencegah terjadinya kerusakan tatanan, daripada kelak menemui kesulitan dalam memperbaiki tatanan yang terlanjur rusak parah.

Saking berhasratnya untuk dapat memiliki si cantik Ken Dedes, lantas Ken Arok siap melakukan berbagai aksi vulgar. Pokoknya demi tercapainya sebuah pemenuhan hasrat, maka segala cara dijalankan dengan mengabaikan etika, moral, agama dan budaya. Saat sekarang, kecerdasan berpolitik mulai tumbuh dimiliki masyarakat, dengan mengenal istilah politisi busuk. Dalam kontek upaya pemenuhan desakan hasrat nampaknya ada kemiripan antara politisi busuk dengan politik vulgar ala Ken Arok. Akhir kata, demi keselarasan kehidupan berpolitik di Indonesia, maka sudah saatnya kita berantas Ken Arok-Ken Arok modern.

ANDAIKAN ADA SI BELANDA HITAM

Oleh: Sapto Prajogo

Sebuah pengalaman menarik di Pasar Tradisionil kawasan Bandung Timur. Pada saat itu saya tertarik untuk membandingkan harga barang lokal dengan barang import, saya sempat terpana atas sebuah penawaran harga pakaian lokal yang hampir tidak berbeda dengan pakaian import. Hal tersebut menjadi menarik, dikarenakan kualitas bahan dari pakaian import tadi jauh lebih bagus bila dibandingkan dengan pakaian lokal.

Namun demikian perlu disadari, bahwa tingkat akurasi data tersebut masih sangat jauh dari kebenaran, dikarenakan tidak pernah melewati sebuah penelitian yang bersifat komprehensif. Bagaimanapun secuil kisah yang mungkin bersifat kebetulan tadi, adalah sebuah peringatan keras bagi kita bangsa Indonesia. Selanjutnya apabila ternyata kisah tadi akurat, terus menerus, serta terjadi menyebar di seluruh kawasan, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat efisiensi dan daya saing bangsa sangatlah rendah.

Rendahnya efisiensi tersebut, bisa jadi berkaitan dengan rendahnya integritas antara bahan baku, sistem proses produksi, sistem pasar atau lain sebab yang jauh lebih komplek. Namun sebenarnya secara perseoranganpun, banyak sekali contoh perilaku manusia Indonesia yang didominasi oleh sikap hidup tidak efisien. Akhirnya terbentuklah sistem komunitas tidak efisien dengan kecenderungan kurang berdaya.

Selain itu ada pihak yang berpendapat bahwa kondisi bangsa yang kurang berdaya tersebut dikarenakan saat sekarang Indonesia sedang dijajah secara ekonomi oleh bangsa asing, dimana fisik Indonesia adalah wujud sebuah pasar besar bagi bangsa asing. Tidak disadari manusia Indonesia memang sengaja dibuat untuk tidak pernah puas dalam memenuhi hasrat belanja, atau dengan kata lain adalah sebuah proses pemiskinan yang dimodernisasi. Lalu apa bedanya dengan masa dimana VOC menjajah Bangsa Indonesia? Perlu diketahui VOC adalah sebuah badan usaha milik Belanda, yang artinya bahwa mereka datang ke Indonesia adalah demi sebuah misi perdagangan atau misi ekonomi.

Pada Jaman VOC terdapat pengkhianat bangsa yang dijuluki ”Belanda Hitam”, hal yang menarik, terkadang mereka lebih belanda bila dibanding dengan belandanya itu sendiri. Selanjutnya bila menyimak ekonomi bangsa Indonesia yang sedang dijajah, dikhawatirkan sekarangpun ada sekelompok manusia Indonesia yang dapat digolongkan sebagai ”Belanda Hitam”.

Andaikan dugaan adanya “Belanda Hitam” ternyata benar, maka dapat dibayangkan bahwa mereka kesana-kemari sibuk ”ha-ha-he-he-ha-ha-he-he” untuk mencari peluang demi memenuhi kepentingan diri sendiri serta mengabaikan kepentingan bangsa. Celakanya dalam mencapai tujuan tersebut, si ”Belanda Hitam” ini tega membuka pintu untuk masuknya kepentingan bangsa asing.

Andaikan benar “Belanda Hitam” ini ada di sekeliling kita, maka lengkaplah sudah penderitaan Bangsa Indonesia, apabila Si ”Belanda Hitam” membiarkan bangsa sendiri dibuat untuk tidak efisien, tanpa proteksi dibiarkan menjadi bangsa konsumtif, serta aktif mendorong agar aset-aset bangsa yang potensial diserahkan ke bangsa asing. Dampak langsung dari perbuatan tersebut mungkin sangat sulit untuk dirasa dan dimengerti oleh nalar. Bila di jaman VOC, hal tersebut lebih mudah dirasa karena ditemui adanya bekas kekerasan fisik, bahkan sampai terjadi adu senjata. Namun dalam hal ini, kekerasan yang ada dalam bentuk non fisik, walaupun sebenarnya dampak sakitnya juga sama. Tragisnya, apabila kita ingin teriak akibat kesakitan, mungkin akan kebingungan arah teriaknya? Hal tersebut dikarenakan, sulit membedakan antara pribumi asli dengan si ”Belanda Hitam”.

Andaikan dugaan adanya “Belanda Hitam” ternyata benar, maka sekarang saatnya menunggu hadirnya ”Sang Pangeran Kornel” yang konsisten peduli pada nasib bangsa, serta berani menolak dan melawan kehendak Asing. Sekarang saatnya mengingatkan secara persuasif ke si “Belanda Hitam” akan pentingnya harmonisasi serta integritas berbangsa. Alhasil, dengan merdekanya bangsa Indonesia dari belenggu kepentingan ekonomi asing, maka mestinya manusia Indonesia dapat menikmati kemakmuran dengan tanpa harus dikotori hadirnya si ”Belanda Hitam”.

INDUSTRI KECIL MENENGAH BAGAIKAN SUDAH JATUH TERTIMPA TANGGA

Oleh: Sapto Prajogo

Energi merupakan kebutuhan pokok yang memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, mulai dari kegiatan sehari-hari perseorangan sampai dengan operasional sistem produksi selalu tergantung pada energi. Untuk itu dalam kondisi krisis energi, mestinya sektor informal yang ternyata mampu menyerap 99,6% tenaga kerja Indonesia atau menjangkau lebih dari 136 juta jiwa, harus mendapatkan perhatian khusus.

Saat akan diluncurkan kebijakan konversi minyak tanah, penulis pernah menjadi relawan dalam kaitan bantuan teknis ke industri kecil. Dari pengalaman di lapangan tersebut, penulis mendapat kesan, bahwa sektor industri kecil hampir tidak terperhitungkan saat muncul kebijakan tersebut. Dengan berbagai pertimbangan pada waktu itu, mereka dicoba diarahkan untuk melakukan konversi ke bahan bakar gas, namun manakala upaya tersebut belum juga terealisasi, muncul lagi kebijakan baru yang tidak memihak ke industri kecil, di mana harga jual gas untuk tabung 50 kg naik.

Penilaian bahwa industri kecil menengah tidak diperhitungkan berkaitan dengan kebijakan konversi minyak tanah sangatlah beralasan. Hal tersebut terbukti, dari berbagai pembicaraan, konsentrasi penanggulangan dampak tertuju pada keluarga tidak mampu dengan membagi kompor gas beserta tabung elpiji 3 kg secara gratis. Sebuah upaya peredaman gejolak dengan pilihan penyelesaian yang gampang karena kompor gas yang dipakai menggunakan jenis yang standar dan umum dipakai masyarakat.

Selanjutnya, bagaimana dengan nasib industri kecil menengah dalam situasi krisis energi saat ini? Mudah ditebak, bahwa mereka pasti dalam kondisi kritis. Pada saat dihantam krisis moneter, mereka masih mampu menggeliat dalam menyelesaikan kesulitannya. Namun sekarang kasusnya berbeda karena permasalahan yang dihadapi adalah pasokan energi yang tentu saja sangat tergantung pada kebijakan pemerintah. Celakanya, dalam hal ini para pengambil keputusan demikian yakinnya, bahwa mereka pasti akan mampu menyelesaikan sendiri terhadap permasalahan ini.

Perlu dipahami, secara umum permasalahan yang sekarang dihadapi industri kecil menengah, selain kendala kontinuitas pasokan energi ternyata juga menghadapi kendala teknis. Secara umum kendala teknis yang dihadapi ternyata cukup serius, disebabkan pada umumnya alat konversi energi termal (kompor/tungku/tanur) adalah tidak umum seperti yang sering dipakai masyarakat dan tidak umum di pasaran. Sementara itu, varian dari industri kecil menengah tersebut juga sangat lebar, sehingga diperlukan desain maupun dimensi alat konversi energi termal yang juga sangat bervariasi. Lebih jelasnya mereka bingung dalam menyiasati adanya perubahan iklim energi. Hal yang wajar disebabkan ketidaktahuan akan “teknologi baru” yang harus dihadapi.

Dengan perjuangan ekstra, upaya “survive” untuk berpindah ke bentuk energi primer substitusi perlu dilakukan. Hal tersebut mungkin saja dapat dilalui dengan baik, namun bagaimana dengan jaminan kontinuitas pasokan energi primer substitusi? Sebagai contoh pada gas, sekarang pun pasokan gas juga kurang lancar.

Ada pihak yang menyarankan untuk beralih ke batu bara karena relatif murah, namun upaya ini pun tidak bisa dianggap sepele. Bila diasumsikan teknologi dan dimensi tungku/kompor/tanur telah terselesaikan. Lalu bagaimana dengan abu sisa pembakaran? Bagaimana dengan jaminan pasokan batu bara, sementara tata niaga batu bara cenderung dikuasai pengelola pertambangan?Mencermati kondisi krisis energi ini dikhawatirkan akan memperluas krisis di berbagai bidang. Seharusnya pihak yang berkompeten memikirkannya secara tuntas. Tentunya pemerintah harus mau merelakan untuk berbagi kewajiban ke pihak peduli dan berkompeten yang mau mendukung penyelesaian masalah ini. Selain itu, untuk penyelesaian, tampaknya perlu dibuat posko-posko layanan yang memberikan konsultasi gratis seputar teknologi konversi dan konservasi energi.

Khusus pihak teknokrat, sebaiknya mau ikut membantu menyelesaikan permasalahan industri kecil menengah dan bukannya hanya peduli kepada industri besar yang berkarakter teknologi tinggi. Selain itu, perlu ada pergeseran paradigma dalam kaitannya dengan orientasi karya yang lebih membumi dalam menghadapi permasalahan riil di lapangan.

Prinsip kebijakan konversi minyak tanah seharusnya mampu menjamin ketersediaan energi substitusi. Pemerintah seharusnya tegas dan mau mewajibkan pemegang kuasa pertambangan dalam tanggung jawab pemenuhan pasokan energi dalam negeri. Selain itu, tatanan kebijakan sudah saatnya berubah untuk tidak lebih berorientasi pada jaminan pasokan energi ke luar negeri.

Selanjutnya, seiring dengan diumumkannya kenaikan harga BBM, kondisi industri kecil menengah saat ini bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga. Upaya survive akibat kebijakan konversi minyak tanah belum selesai, sudah datang lagi masalah, datang lagi masalah.***

PIKIRAN RAKYAT (10 Juni 2008)
Penulis : Pengamat Energi

SEBUAH PENANTIAN DI LUMBUNG ENERGI

Oleh: Sapto Prajogo

DALAM kondisi sulit energi saat ini, maka konservasi energi mulai mendapat perhatian yang cukup serius dan menempati posisi sebagai bahan pembicaraan yang menarik. Betapa tidak, berdasarkan data intensitas energi, ternyata Indonesia adalah negara yang tingkat produktivitas pemanfaatan energinya sangat rendah bila dibandingkan banyak Negara di Asia. Hal tersebut menunjukkan bahwa energi di Indonesia dimanfaatkan secara boros.

Sebagai upaya gerakan hemat energi, maka pada tanggal 25 Agustus 2008 PLN akan memulai menerapkan kebijakan penghematan listrik tahap kedua yang mencakup mal, hotel, kantor, dan industri yang tidak terkena pergeseran jam kerja di wilayah Jawa Bali. Program tersebut merupakan lanjutan penghematan tahap pertama dengan menggeser jam kerja industri, dan untuk itu PLN hanya mendapatkan peluang penghematan sebesar 180 megawatt (MW). Sedangkan target keseluruhan program penghematan mencapai sebesar 600 MW dan seterusnya sampai dengan beroperasinya pembangkit 10.000 MW pada tahun 2009. Penghematan energi tahap kedua ini adalah untuk menggunakan genset milik pribadi pada pukul 17.00 s/d 22.00 WIB, untuk dua hari dalam sepekan.

Dengan alasan defisit energi listrik, maka dibolehkan dan sah sah saja bila menerapkan berbagai kebijakan penghematan dengan tujuan mengurangi atau bahkan menghapus adanya defisit energi. Hal menarik, pihak pelanggan energi listrik diduga akan "menurut" terhadap apapun yang diputuskan. Intinya sebuah "penyelesaian secara adat", bila memang ketersediaan pasokan energi tidak sebanding dengan permintaan, lalu mau bagaimana lagi selain menuruti kemauan produsen listrik.

Namun demikian, ada hal mendasar yang harus dipertimbangkan, bahwa proses jual beli energi listrik ini, secara tidak langsung bersifat kontraktual, dan tentunya di dalamnya tertuang adanya hak dan kewajiban kedua belah pihak. Jelasnya segala kebijakan yang akan diterapkan tersebut harus berpayung hukum dan mestinya sebisa mungkin bersifat adil.

Sebuah renungan, kebijakan penghematan energi ini akan berdampak pada masyarakat luas, oleh karena itu seharusnya melewati perencanaan yang bersifat komprehensip. Apabila mereka harus mengadakan pembelian genset serta harus mengoperasikannya, maka layak dipertanyakan, berapa barel BBM yang harus disediakan? Bagaimana dengan harga BBM dunia yang terus meroket? Bagaimana dengan jaminan pasokan BBM? Berapa nilai riil Rupiah/kWh? Bagaimana dengan kendali berbagai polutan? Bagaimana dengan nasib genset setelah pembangkit 10.000 MW beroperasi? Dan lain lain pertanyan yang bersifat teknis.

Apapun itu, semua ini merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga buat kita dan semestinya tidak boleh terulang kembali. Selanjutnya apabila mengupas kondisi kekayaan sumber daya energi primer yang dimiliki Indonesia, sebenarnya sangat berlimpah. Bisa dibayangkan, 25 persen kebutuhan batubara dunia dipasok dari Indonesia, namun sebaliknya beberapa PLTU di negeri sendiri terpaksa tidak beroperasi dikarenakan kurangnya pasokan batubara. Selain itu, potensi panas bumi Indonesia adalah terbesar di dunia, belum lagi potensi gas, biomassa maupun energi lainnya.

Hal mendasar yang harus dipertimbangkan, bahwa energi adalah pendukung utama terhadap sistem produksi. Jelasnya untuk menjamin keberlanjutan produktivitas sebuah bangsa, maka prinsip kebijakan keenergian seharusnya mampu menjamin ketersediaan energi dalam negeri. Untuk itu, Pemerintah dalam membuat tatanan kebijakan serta penerapannya sudah saatnya berubah untuk tidak lebih berorientasi pada jaminan pasokan energi ke luar negeri.

Seiring dengan itu, sudah saatnya masyarakat pengguna energi harus juga segera belajar memahami dalam memanfaatkan energi dengan bijaksana, efisien dan rasional serta tidak mentang mentang mampu membeli energi. Akhir kata, kondisi kolaps karena defisit energi ini harus segera berlalu, utamanya jangan sampai kita semua dalam kondisi penantian tidak menentu, dikarenakan kekurangan pasokan energi di lumbung energi. (*)

TRIBUN JABAR (25 Agustus 2008)
Penulis : Pengamat Energi