28 Desember 2009

PERLUNYA MENDEWASAKAN PLN

Oleh: Sapto Prajogo

Pemadaman listrik bergilir oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang saat sekarang sering ditemui nampaknya bakal berkepanjangan. Memang pesimistis, namun kenyataannya mudah ditemui berbagai pernyataan simpang siur, serta munculnya solusi yang hanya sebatas wacana. Maknanya bahwa krisis energi listrik ini bakal sulit menemui penyelesaian tuntas.

Gangguan listrik ini tentunya berbuntut pada terhambatnya aktivitas masyarakat umum dan pelaku bisnis, sebab listrik sudah menjadi kebutuhan pokok untuk menjalankan rutinitas sehari-hari, dan untuk memutar roda perekonomian. Bila kekacauan ini berkelanjutan, maka dapat dipastikan akan mengganggu pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Penyebab pemadaman bergilir, biasanya disebabkan terbatasnya pasokan energi listrik. Namun hal ini mestinya masih harus dikupas dan dicari biang keladinya. Prinsipnya bisnis listrik ini terdapat beberapa aspek, yaitu pembangkitan, transmisi dan distribusi. Dari berbagai sumber menyatakan bahwa alasan pemadaman bergilir tersebut diakibatkan oleh terjadinya gangguan di beberapa pembangkit, serta beberapa gardu induk. Selain itu juga terdapat tarik-menarik besaran subsidi yang harus digelontorkan oleh pihak Pemerintah.

Nah lengkaplah sudah, upaya mengurai permasalahan hanyalah ditemukan benang kusut. Alasan gangguan tadi merupakan alasan klasik dan membosankan untuk didengar. Adanya alasan gangguan pembangkit boleh saja diutarakan, karena terdapat ketergantungan terhadap sektor lainnya. Namun alasan adanya gangguan gardu induk sangatlah naif, apalagi bila itu terjadi bersamaan di berbagai tempat. Perlu diketahui perangkat teknologi pendukung yang terlibat dalam sistem tersebut bukanlah sistem ”kacangan”. Sistem ini dirancang sedemikian rupa dan tentunya memiliki sistem cadangan. Bila kenyataannya seperti itu, maka dapat disimpulkan investasi mahal ini kurang dirawat oleh PLN.

PLN adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas, maknanya adalah badan usaha yang sengaja dibentuk untuk mengejar keuntungan. Semestinya juga bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa yang bermutu tinggi serta berdaya saing kuat. Namun kenyataannya PT PLN setiap tahun terus digelontor subsidi puluhan triliun Rupiah. Sepintas memang dapat diwajarkan, karena energi listrik ini memiliki nilai strategis dan kental dengan nuansa sosial. Namun bila praktik seperti ini diteruskan, maka dipastikan PLN tidak akan pernah mencapai kedewasaan bisnis.

Sebagai perseroan terbatas, seharusnya PLN bersikap profesional, dan selalu berhitung secara ketat terhadap bisnis yang dijalaninya. PLN seharusnya bebas menentukan nilai jual energi listrik selayaknya pebisnis profesional. Namun hal tersebut harus disertai juga syarat kinerja yang efisien dan profesional.. Memang semua harus diawali dengan evaluasi secara komprehensip, dengan merujuk pada perusahaan sehat yang memiliki bisnis serupa. Selanjutnya untuk menjawab tuntutan sosial, misalnya bagi masyarakat umum yang memerlukan subsidi, maka itu semua dapat diselesaikan dengan dihitung dan dimintakan subsidi ke pihak Pemerintah. Dengan pola ini, maka dipastikan subsidi bukanlah untuk PLN, namun langsung ke Masyarakat yang membutuhkan.

Pokoknya PLN harus profesional di segala bidang, dan tidaklah pantas bila selalu sembunyi dibalik tuntutan kepentingan sosial. Bila begitu, untuk kepentingan investasi peningkatan daya listrik, mestinya PLN juga harus siap bertanggungjawab selayaknya pebisnis profesional. Itu semua untuk mendorong mendewasakan PLN, sehingga tidak terus menerus merongrong subsidi tanpa disertai kedewasaan tanggung jawab profesional.

Sebuah kenyataan, bahwa pembangkit listrik sangatlah perlu kontinyuitas pasokan energi primer. Untuk itu pengelolaan energi primer berupa BBM, batubara, gas dan lainnya, memang harus transparan. Untuk itu pihak Pemerintah harus berani dan tegas untuk menepis cengkeraman kepentingan beberapa gelintir orang atau golongan dalam pengelolaan sumber daya energi primer. Akhirnya, Demi keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara memang diperlukan ketegasan serta keberanian pihak Pemerintah dalam mengurai benang kusut permasalahan pengelolaan energi di tanah air.
(Tribun Jabar, Nopember 2009)

12 Januari 2009

JANJI POLITIK PARTAI HARUS DITAGIH

Spirit NTT, 19-25 Mei 2008

Oleh: Sapto Prajogo

Pemilihan Umum yang merupakan pesta demokrasi untuk pemilihan Legislatif akan segera dilaksanakan. Pemilu tersebut diharapkan dapat dilaksanakan dengan sukses, aman dan hampir tidak ada konflik serta mampu menjadi pembelajaran mencerdaskan kehidupan berpolitik bagi seluruh elemen bangsa Indonesia

Namun bila mengamati suasana meriahnya selebaran, pamlet serta spanduk di jalanan serta riuhnya ruang buat paparan iklan politik di media masa, nampak demikian mudahnya bagi para calon pemimpin politik dalam hal menebar janji-janji politik. Sebuah cara mudah sebagai upaya membangun citra, serta upaya memenuhi ruang harapan dari konstituennya Selanjutnya apabila yang bersangkutan terpilih serta berhasil menduduki jabatan politik, maka permasalahan seharusnya belumlah selesai. Hal yang wajar, karena janji adalah sebuah hutang dan konsekuensinya bahwa hutang haruslah dibayar.

Secara politik, hal tersebut memang merupakan tantangan bagi para kandidat untuk menggali permasalahan yang berkembang di Masyarakat. Namun demikian, bila mempertimbangkan kondisi perpolitikan yang ada serta meningkatnya kecerdasan politik yang ada di Masyarakat, sebenarnya dampak dari janji politik tersebut mudah ditebak, yaitu Gedung Kantor Legislatif bakal “ramai” bertebaran ”surat tagihan” dari berbagai elemen Masyarakat. Tagihan tadi ada yang berupa komentar di media, ada yang bersumpah akan terus mengawal janji, bahkan ada yang dengan cara demo.

Bisa jadi sebuah janji politik perlu dilakukan untuk meningkatkan citra kandidat. Namun demikian bisa jadi janji politik adalah sebuah wujud komunikasi politik yang kurang bijaksana. Bahkan ada pendapat, bahwa janji politik sebaiknya tidak dilakukan. Apapun itu, sebentar lagi Indonesia akan menghadapi sebuah kenyataan, bahwa akan bermunculan pejabat-pejabat politik yang selalu menggendong “beban janji politiknya”, dan telah mendapat legitimasi kuat dari Masyarakat Indonesia. Selanjutnya tergantung kepada Masyarakat Indonesia, para Pejabat Politik yang berbekal janji tersebut mau diapakan.

Apapun wujud janji yang telah dilontarkan, dan bila kelak terpilih memenangkan pertarungan Pemilu, maka dapat disimpulkan bahwa janji-janji politik yang telah dilontarkan tersebut, adalah perwujudan ekspresi impian Masyarakat Indonesia. Akhirnya muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar terhadap cara menyikapi janji-janji politik, apakah harus terus ditagih? Apakah tidak perlu ditagih? Apakah terus ditagih tetapi dibarengi dengan dukungan? Apakah dilupakan saja, pokoknya didukung? Atau apapun yang terjadi, tidak perlu dipedulikan.

Dari fakta sejarah, menebar janji politik bukanlah hal baru bagi Masyarakat Indonesia, dan sebenarnya dengan tingkat kecerdasan berpolitik sebagian besar Masyarakat Indonesia, sebenarnya sudah mampu memaknainya serta mampu mengevaluasi kualitas janji dari sebuah partai maupun kadernya. Respon yang paling mudah adalah janganlah dipilih lagi para kader yang berasal dari partai gemuk yang dikarenakan rajin menebar janji-janji kosong.

Mungkin sebaiknya sebagai bagian dari keluarga Indonesia, kita perlu membuka pintu maaf bagi kebohongan-kebohongan politik yang pernah dilontarkan. Namun demikian bila pintu maaf tersebut terlalu sering dibuka dan ditutup, sampai kapan engsel pintu maaf tersebut akan bertahan?

Sebuah usulan pemikiran serta ajakan buat kelompok elit yang mampu serta mau melindungi kepentingan masyarakat jelata, bagaimana bila sebisa mungkin janji politik tersebut dikumpulkan, dilegitimasi dengan tanda tangani oleh si penebar janji (tentu saja mewakili partainya), untuk kelak menjadi bahan tagihan ke kader serta partai yang bersangkutan. Nah, dari tagihan ini merupakan rapot bagi kader serta partai yang bersangkutan untuk kepentingan sebagai panduan masyarakat di pemilu selanjutnya.

Namun permasalahannya banyak yang pesimis:

Siapa serta elit mana yang mau memikirkan nasib Rakyat Indonesia?

Siapa serta elit mana yang mau melindungi hak politik Rakyat Indonesia?

Siapa serta elit mana yang mau meluangkan waktu demi Rakyat Indonesia?