20 Juli 2013

IKLANNYA SANG NETRAL



Oleh: Sapto Prajogo

Memperkenalkan suatu produk, dipastikan tidak dapat dilakukan bila hanya dengan berdiam diri. Bagaimana mungkin calon konsumen tahu akan suatu produk, bila produsennya tidak melakukan tindakan apapun. Dengan adanya promosi diharapkan akan meningkatkan brand image, maupun product image dan dipastikan akan berdampak positif pada kemajuan perusahaan, terutama dalam hal penjualan.

Promosi adalah sebuah upaya penting untuk melakukan pemasaran dalam menawarkan produk atau jasa, dengan tujuan menarik calon konsumen untuk mengkonsumsinya. Langkah tepat dalam melakukan promosi adalah dengan memasang iklan. Iklan sendiri merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperkenalkan barang atau jasa yang ditawarkan kepada calon pelanggan atau konsumen, sekaligus mengajaknya untuk memiliki barang yang ditawarkan.

Manfaat iklan terbesar adalah membawa pesan yang ingin disampaikan oleh produsen kepada khalayak ramai. Nilai ekonomis suatu iklan sangat tergantung pada daya jangkau media yang digunakan. Seiring dengan kemajuan teknologi saat ini, iklan dapat dilakukan dengan melalui televisi, media cetak  dan masih banyak lagi media. Dalam mengkomunikasikan pesan, iklan haruslah atraktif selayaknya membangun kepercayaan masyarakat. Salah satu kunci membuat iklan yang atraktif adalah kemampuan membidik calon endorser atau bintang iklan secara presisi dan tepat sasaran. Bintang iklan dengan bermodalkan brand personality, menjadi kunci penting dalam membangun kepercayaan masyarakat menuju pencitraan terhadap merek dan  produk.

Banyak kalangan beranggapan bahwa profesi sebagai bintang iklan memang menarik dan pantas “diperjuangkan”. Betapa tidak, kerja sehari dua hari, namun dapat mengantongi ikatan kontrak dalam jangka waktu panjang. Belum lagi adanya tawaran bonus-bonus menarik lainnya berupa popularitas dan peluang yang lebih hebat lainnya.

Jaman memang telah berubah, kemampuan membidik bintang iklan juga semakin hebat. Berbagai profesi telah terbidik sebagai pengisi ruang publik untuk beratraksi sebagai bintang iklan. Bintang Iklan perseorangan dapat dari berbagai kalangan, yaitu ibu rumah tangga, penyanyi, artis peran, dokter, insinyur dan bahkan bayi lucu telah mengiklani berbagai produk. Tidak hanya perseorangan, lembaga pendidikan juga ada yang merelakan diri menjadi obyek iklan, contohnya iklan pengolah air minum. Selanjutnya entah siapa yang telah mendahului?. Para Pejabat Negara tidak mau kalah ikut sibuk ambil peran beratraksi sebagai bintang iklan, bahkan Seorang Ustad dengan ikhlas tampil “lebay” mendorong produk layanan telekomunikasi.

Pada prinsipnya mengiklankan sebuah produk adalah upaya memenangkan sebuah persaingan. Sebenarnya persaingan itu tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah konflik, namun sebuah persaingan berpotensi untuk membangun konflik. Konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua pihak atau lebih, dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan membuatnya tidak berdaya.
Menjadi bintang iklan dipastikan memihak untuk membantu memenangkan suatu produk atau merek dalam persaingan berebut pasar. Karena bersifat memihak, maka seorang bintang iklan sudah sengaja memposisikan diri ditempat yang tidak netral, kecuali bila produk yang diiklankan adalah satu-satunya produk di pasar. Sebuah konsekuensi logis bila pihak-pihak yang masuk kategori netral, seperti perguruan tinggi, Pejabat Negara, dan Ahli Agama wajib untuk menarik diri dari kancah konflik. Cobalah hati-hati untuk tetap bijaksana sebagai penengah yang selalu berada di posisi netral dan memastikan diri tidak melanggar etika sosial di ruang publik.
Akhirnya, apapun alasan dan apapun profesi sebelumnya, bila karena sesuatu hal beralih profesi dan menempati posisi netral, maka haruslah segera ingat akan amanah netral. Manakala sekarang duduk sebagai pejabat Negara dan masih terikat kontrak iklan, seyogyanya segera diselesaikan. Pasti tidak ada yang sulit untuk menyelesaikan kontrak ini, toh seorang Pejabat Negara mempunyai kekuatan coercive (memaksa) demi kepentingan bangsa dan etika sosial.

(Sumber: Harian TRIBUN JABAR, Juli 2013)

19 Juli 2010

BENCANA LEBIH BESAR AKAN MENDAMPINGI BOM LPG

Oleh : Sapto Prajogo

Sekarang ini berbagai media begitu rajin menyuguhkan tayangan meledaknya tabung gas LPG. Terbayang betapa marak dan riuhnya ledakan-ledakan yang tersebar di berbagai daerah. Bila dimaknai, berita ini sangat tidak lucu dan pastinya sangat memalukan. Betapa tidak, negara lain sibuk mengembangkan dan memproduksi barang yang berkualitas, agar mampu bersaing di skala global. Sementara kita sibuk mencoreng muka sendiri dengan pamer produksi barang yang tidak berkualitas.

Dengan tingkat pemahaman yang dimiliki manusia disaat sekarang, seharusnya pemakaian LPG tidak akan bermasalah dan aman-aman saja. Bila kenyataannya tidak aman, berarti aspek kejahatan dan ketamakanlah yang menjadi penyebab utama. Jahat dan tamak dengan memproduksi set kompor yang tidak memenuhi standar dan mematikan. ”Si raja tega” berbuat jahat dan tamak dengan membiarkan barang yang tidak berkualitas tadi beredar di pasaran.

Memang miris, energi merupakan kebutuhan primer, untuk alasan bertahan hidup maka manusia akan terus mencari dan memanfaatkan energi. Bila masyarakat tidak diberi alternatif, maka sebahaya apapun LPG tersebut akan tetap dimanfaatkan oleh masyarakat. Bila sistem kompor LPG dibawah standar keamanan maka wajar bila ada yang menyebutkan bahwa tabung LPG bagaikan sebuah bom yang disimpan di rumah penduduk.

Kisah bencana bom LPG ini diawali dengan adanya kebijakan konversi minyak tanah ke LPG. Kebijakan ini diperkirakan mampu menghemat Anggaran Negara. Perlu diketahui, bahwa untuk urusan minyak tanah, Pemerintah telah menggelontor subsidi yang sangat besar. Selain itu cadangan minyak bumi kita memang sudah menipis dan saatnya mencari energi alternatif pengganti minyak bumi. Namun apapun kebijakan itu, haruslah melewati perencanaan dan kajian mendalam yang bersifat komprehensip serta melewati tahapan-tahapan yang rasional.

Namun sayangnya kebijakan yang mulia ini tanpa melewati kajian yang komprehensip dan terkesan asal-asalan. Pernyataan ini tidaklah berlebihan, apalagi bila mengamati kenyataan-kenyataan pahit yang ada di lapangan. Energi menjadi sangat penting, dan dipastikan dipakai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sampai dengan kebutuhan sistem proses produksi. Bicara pemanfaatan energi, seharusnya tidak hanya bicara kecukupan pasokan, namun harus juga bicara teknologi pemanfaatannya. Pemerintah memang telah bicara sampai dengan teknologi pemanfaatannya, terbukti dengan pembagian gratis set kompor gas untuk masyarakat rumah tangga. Namun bagaimana dengan teknologi pemakaian LPG untuk sistem proses produksi?.

Bagi industri besar dipastikan tidak akan menemui kesulitan, permasalahan yang dihadapi dengan mudah diselesaikan dengan membayar konsultan yang handal. Berbeda dengan industri kecil yang biasanya cenderung beroperasi mengikuti warisan konvensional, kebijakan konversi minyak tanah ke LPG dipastikan akan menyebabkan ”kisruh” yang mendasar. Bagi industri kecil yang kebetulan memanfaatkan kompor yang umum beredar di pasaran dipastikan tidak akan menemui kesulitan. Namun bagaimana dengan industri kecil yang memanfaatkan teknologi konversi energi yang tidak umum di pasaran? Misalkan berupa tanur pembakaran atau ”kompor” yang sangat besar.

Nampaknya sentuhan kebijakan konversi minyak tanah ke LPG bagi industri kecil hanyalah sebatas pertimbangan kecukupan pasokan LPG. Sentuhan kebijakan diperkirakan tidak sampai pada persiapan cara pemanfaatan teknologi konversi energi. Penulis telah mengamati hal ini di banyak industri kecil di berbagai daerah selama hampir 3 tahun, dan banyak ditemui kenyataan pahit berupa kebangkrutan karena mereka tidak mampu lagi berproduksi. Hal itu disebabkan oleh ketidak-tahuan cara memanfaatkan LPG sebagai suport sistem produksinya. Pastinya mereka telah dilanda kebingungan, karena tidak adanya tempat untuk berkonsultasi. Secara mandiri, beberapa memang mampu bertahan dengan berkreativitas memanfaatkan LPG dan banyak diantaranya beralih energi primer dengan memanfaatkan solar dan bahkan memanfaatkan kayu bakar.

Berbagai sumber menyebutkan bahwa sektor informal --termasuk di dalamnya industri kecil-- ternyata mampu menyerap 99,6% tenaga kerja Indonesia. Pada saat Indonesia dilanda krisis moneter, sektor informal telah mantap berperan menyelamatkan ekonomi di Negeri ini. Karena berdimensi kecil, maka mereka dengan luwesnya menggeliat dan menangkis tekanan krisis moneter. Nampaknya kenyataan ini membuat Pemerintah meyakini bahwa ”tekanan” kebijakan konversi minyak tanah ke LPG ini akan mampu diselesaikan dengan manis oleh sektor informal, toh teknologi yang diperlukan bukanlah teknologi tinggi.

Pemerintah seharusnya memperhitungkan munculnya segala risiko yang diakibatkan oleh sebuah kebijakan. Bila keberadaan sektor informal memang dianggap penting, semestinya jajaran pemerintah siap menyelesaikan permasalahan kesulitan teknologi konversi energi.

Kelalaian ini dipastikan terjadi efek ganda pada hancurnya sektor informal, hancurnya ekonomi kerakyatan dan terancamnya jutaan lapangan pekerjaan di Indonesia. Bila tidak segera diantisipasi, maka dampak negatif kebijakan konversi minyak tanah ke LPG bukan hanya bahaya tersebarnya bom LPG ke rumah penduduk, namun lebih pada sebuah bencana besar berupa kehancuran sektor informal.
(Sumber : Harian REPUBLIKA, Juli 2010)

28 Desember 2009

PERLUNYA MENDEWASAKAN PLN

Oleh: Sapto Prajogo

Pemadaman listrik bergilir oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang saat sekarang sering ditemui nampaknya bakal berkepanjangan. Memang pesimistis, namun kenyataannya mudah ditemui berbagai pernyataan simpang siur, serta munculnya solusi yang hanya sebatas wacana. Maknanya bahwa krisis energi listrik ini bakal sulit menemui penyelesaian tuntas.

Gangguan listrik ini tentunya berbuntut pada terhambatnya aktivitas masyarakat umum dan pelaku bisnis, sebab listrik sudah menjadi kebutuhan pokok untuk menjalankan rutinitas sehari-hari, dan untuk memutar roda perekonomian. Bila kekacauan ini berkelanjutan, maka dapat dipastikan akan mengganggu pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Penyebab pemadaman bergilir, biasanya disebabkan terbatasnya pasokan energi listrik. Namun hal ini mestinya masih harus dikupas dan dicari biang keladinya. Prinsipnya bisnis listrik ini terdapat beberapa aspek, yaitu pembangkitan, transmisi dan distribusi. Dari berbagai sumber menyatakan bahwa alasan pemadaman bergilir tersebut diakibatkan oleh terjadinya gangguan di beberapa pembangkit, serta beberapa gardu induk. Selain itu juga terdapat tarik-menarik besaran subsidi yang harus digelontorkan oleh pihak Pemerintah.

Nah lengkaplah sudah, upaya mengurai permasalahan hanyalah ditemukan benang kusut. Alasan gangguan tadi merupakan alasan klasik dan membosankan untuk didengar. Adanya alasan gangguan pembangkit boleh saja diutarakan, karena terdapat ketergantungan terhadap sektor lainnya. Namun alasan adanya gangguan gardu induk sangatlah naif, apalagi bila itu terjadi bersamaan di berbagai tempat. Perlu diketahui perangkat teknologi pendukung yang terlibat dalam sistem tersebut bukanlah sistem ”kacangan”. Sistem ini dirancang sedemikian rupa dan tentunya memiliki sistem cadangan. Bila kenyataannya seperti itu, maka dapat disimpulkan investasi mahal ini kurang dirawat oleh PLN.

PLN adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas, maknanya adalah badan usaha yang sengaja dibentuk untuk mengejar keuntungan. Semestinya juga bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa yang bermutu tinggi serta berdaya saing kuat. Namun kenyataannya PT PLN setiap tahun terus digelontor subsidi puluhan triliun Rupiah. Sepintas memang dapat diwajarkan, karena energi listrik ini memiliki nilai strategis dan kental dengan nuansa sosial. Namun bila praktik seperti ini diteruskan, maka dipastikan PLN tidak akan pernah mencapai kedewasaan bisnis.

Sebagai perseroan terbatas, seharusnya PLN bersikap profesional, dan selalu berhitung secara ketat terhadap bisnis yang dijalaninya. PLN seharusnya bebas menentukan nilai jual energi listrik selayaknya pebisnis profesional. Namun hal tersebut harus disertai juga syarat kinerja yang efisien dan profesional.. Memang semua harus diawali dengan evaluasi secara komprehensip, dengan merujuk pada perusahaan sehat yang memiliki bisnis serupa. Selanjutnya untuk menjawab tuntutan sosial, misalnya bagi masyarakat umum yang memerlukan subsidi, maka itu semua dapat diselesaikan dengan dihitung dan dimintakan subsidi ke pihak Pemerintah. Dengan pola ini, maka dipastikan subsidi bukanlah untuk PLN, namun langsung ke Masyarakat yang membutuhkan.

Pokoknya PLN harus profesional di segala bidang, dan tidaklah pantas bila selalu sembunyi dibalik tuntutan kepentingan sosial. Bila begitu, untuk kepentingan investasi peningkatan daya listrik, mestinya PLN juga harus siap bertanggungjawab selayaknya pebisnis profesional. Itu semua untuk mendorong mendewasakan PLN, sehingga tidak terus menerus merongrong subsidi tanpa disertai kedewasaan tanggung jawab profesional.

Sebuah kenyataan, bahwa pembangkit listrik sangatlah perlu kontinyuitas pasokan energi primer. Untuk itu pengelolaan energi primer berupa BBM, batubara, gas dan lainnya, memang harus transparan. Untuk itu pihak Pemerintah harus berani dan tegas untuk menepis cengkeraman kepentingan beberapa gelintir orang atau golongan dalam pengelolaan sumber daya energi primer. Akhirnya, Demi keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara memang diperlukan ketegasan serta keberanian pihak Pemerintah dalam mengurai benang kusut permasalahan pengelolaan energi di tanah air.
(Tribun Jabar, Nopember 2009)

12 Januari 2009

JANJI POLITIK PARTAI HARUS DITAGIH

Spirit NTT, 19-25 Mei 2008

Oleh: Sapto Prajogo

Pemilihan Umum yang merupakan pesta demokrasi untuk pemilihan Legislatif akan segera dilaksanakan. Pemilu tersebut diharapkan dapat dilaksanakan dengan sukses, aman dan hampir tidak ada konflik serta mampu menjadi pembelajaran mencerdaskan kehidupan berpolitik bagi seluruh elemen bangsa Indonesia

Namun bila mengamati suasana meriahnya selebaran, pamlet serta spanduk di jalanan serta riuhnya ruang buat paparan iklan politik di media masa, nampak demikian mudahnya bagi para calon pemimpin politik dalam hal menebar janji-janji politik. Sebuah cara mudah sebagai upaya membangun citra, serta upaya memenuhi ruang harapan dari konstituennya Selanjutnya apabila yang bersangkutan terpilih serta berhasil menduduki jabatan politik, maka permasalahan seharusnya belumlah selesai. Hal yang wajar, karena janji adalah sebuah hutang dan konsekuensinya bahwa hutang haruslah dibayar.

Secara politik, hal tersebut memang merupakan tantangan bagi para kandidat untuk menggali permasalahan yang berkembang di Masyarakat. Namun demikian, bila mempertimbangkan kondisi perpolitikan yang ada serta meningkatnya kecerdasan politik yang ada di Masyarakat, sebenarnya dampak dari janji politik tersebut mudah ditebak, yaitu Gedung Kantor Legislatif bakal “ramai” bertebaran ”surat tagihan” dari berbagai elemen Masyarakat. Tagihan tadi ada yang berupa komentar di media, ada yang bersumpah akan terus mengawal janji, bahkan ada yang dengan cara demo.

Bisa jadi sebuah janji politik perlu dilakukan untuk meningkatkan citra kandidat. Namun demikian bisa jadi janji politik adalah sebuah wujud komunikasi politik yang kurang bijaksana. Bahkan ada pendapat, bahwa janji politik sebaiknya tidak dilakukan. Apapun itu, sebentar lagi Indonesia akan menghadapi sebuah kenyataan, bahwa akan bermunculan pejabat-pejabat politik yang selalu menggendong “beban janji politiknya”, dan telah mendapat legitimasi kuat dari Masyarakat Indonesia. Selanjutnya tergantung kepada Masyarakat Indonesia, para Pejabat Politik yang berbekal janji tersebut mau diapakan.

Apapun wujud janji yang telah dilontarkan, dan bila kelak terpilih memenangkan pertarungan Pemilu, maka dapat disimpulkan bahwa janji-janji politik yang telah dilontarkan tersebut, adalah perwujudan ekspresi impian Masyarakat Indonesia. Akhirnya muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar terhadap cara menyikapi janji-janji politik, apakah harus terus ditagih? Apakah tidak perlu ditagih? Apakah terus ditagih tetapi dibarengi dengan dukungan? Apakah dilupakan saja, pokoknya didukung? Atau apapun yang terjadi, tidak perlu dipedulikan.

Dari fakta sejarah, menebar janji politik bukanlah hal baru bagi Masyarakat Indonesia, dan sebenarnya dengan tingkat kecerdasan berpolitik sebagian besar Masyarakat Indonesia, sebenarnya sudah mampu memaknainya serta mampu mengevaluasi kualitas janji dari sebuah partai maupun kadernya. Respon yang paling mudah adalah janganlah dipilih lagi para kader yang berasal dari partai gemuk yang dikarenakan rajin menebar janji-janji kosong.

Mungkin sebaiknya sebagai bagian dari keluarga Indonesia, kita perlu membuka pintu maaf bagi kebohongan-kebohongan politik yang pernah dilontarkan. Namun demikian bila pintu maaf tersebut terlalu sering dibuka dan ditutup, sampai kapan engsel pintu maaf tersebut akan bertahan?

Sebuah usulan pemikiran serta ajakan buat kelompok elit yang mampu serta mau melindungi kepentingan masyarakat jelata, bagaimana bila sebisa mungkin janji politik tersebut dikumpulkan, dilegitimasi dengan tanda tangani oleh si penebar janji (tentu saja mewakili partainya), untuk kelak menjadi bahan tagihan ke kader serta partai yang bersangkutan. Nah, dari tagihan ini merupakan rapot bagi kader serta partai yang bersangkutan untuk kepentingan sebagai panduan masyarakat di pemilu selanjutnya.

Namun permasalahannya banyak yang pesimis:

Siapa serta elit mana yang mau memikirkan nasib Rakyat Indonesia?

Siapa serta elit mana yang mau melindungi hak politik Rakyat Indonesia?

Siapa serta elit mana yang mau meluangkan waktu demi Rakyat Indonesia?

26 Desember 2008

AKIBAT TERSINGKAPNYA BETIS KEN DEDES

Oleh: Sapto Prajogo

Ken Arok adalah putra Ken Endok. Ketika masih bayi, Ken Arok dibuang dan ditemukan oleh seorang pencuri. Selanjutnya Ken Arok tumbuh menjadi seorang pemuda yang gemar berjudi dan akhirnya menjadi perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kediri.

Dalam perjalanannya, Ken Arok bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung seorang akuwu di Tumapel. Tunggul Ametung beristrikan Ken Dedes, seorang perempuan yang terkenal sangat jelita. Konon cerita, akibat tersingkapnya betis Ken Dedes, maka membuat Ken Arok bangkit hasrat untuk merebut Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung yang terkenal sakti mandraguna.

Sebagai upaya dapat membunuh Tunggul Ametung , Ken Arok memerlukan sebilah keris ampuh. Untuk itu, Ken Arok minta bantuan dibuatkan keris ampuh kepada seorang ahli pusaka yang bernama Empu Gandring. Hasil negosiasi, disepakati waktu penyelesaian selama 1 tahun. Namun Ken Arok tidak sabar, sehingga dalam waktu lima bulan Ken Arok sudah datang untuk mengambil keris pesanannya. Melihat keris belum selesai, Ken Arok menjadi murka, sehingga keris yang belum sempurna itu ditusukkan ke dada Empu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Empu Gandring sempat mengucapkan kutukan, bahwa keris itu kelak akan membunuh 7 orang, termasuk Ken Arok sendiri.

Dengan berbekal keris sakti, Ken Arok menjalankan politik liciknya. Mula-mula Ken Arok meminjamkan kerisnya kepada Kebo Ijo, seorang rekan yang memiliki sifat suka pamer. Selanjutnya mudah ditebak, Kebo Ijo pasti akan dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris tersebut memang milik Kebo Ijo.

Dengan lihainya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Ijo. Kemudian keris tersebut dipergunakan untuk membunuh Tunggul Ametung. Dengan bukti sebilah keris yang masih menancap di dada mayat Tunggul Ametung, maka Kebo Ijo berstatus tertuduh dan dieksekusi mati. Akhirnya Ken Arok sukses dengan berhasil menikahi Ken Dedes. Namun demikian, kisah sukses Ken arok ini berakhir tragis dengan terbuktinya kutukan Empu Gandring.

Kontek sekarang, berbagai daerah di Indonesia sedang mempersiapkan sebuah prosesi Pemilu 2009. Diperkirakan kisah pertarungan ini akan semakin seru menjelang mendekati tanggal pemilihan. Masing-masing bakal calon memiliki tim sukses dengan strategi ampuhnya yang diyakini dapat memenangkan pertarungan. Memang luar biasa, kursi jabatan bagaikan sebuah magnit raksasa yang mampu membangkitkan hasrat bagi semua bakal calon dan bahkan beserta tim suksesnya.

Sah saja bagi siapapun bila memiliki hasrat yang luar biasa dalam meraih kursi jabatan tersebut. Namun demikian, prosesi Pemilu ini harus tetap dikerangkai oleh sebuah sistem paradigma yang baik dan sempurna. Sehingga di masa yang akan datang, kehidupan berbangsa dan bernegara akan tetap dapat dilalui dengan melewati harmonisa yang berkelanjutan.

Kisah Ken Arok yang berhasrat untuk mendapatkan Ken Dedes pantas menjadi pelajaran. Keris Empu Gandring dapat diibaratkan sebagai sebuah sistem paradigma yang menyimpang. Apabila sistem paradigma tersebut sengaja dimanfaatkan dengan menabrak kearifan-kearifan, maka dikawatirkan dapat beresiko pada rusaknya tatanan masyarakat dan bahkan menggerus sampai 7 generasi. Lebih bijaksana bila sekarang mencegah terjadinya kerusakan tatanan, daripada kelak menemui kesulitan dalam memperbaiki tatanan yang terlanjur rusak parah.

Saking berhasratnya untuk dapat memiliki si cantik Ken Dedes, lantas Ken Arok siap melakukan berbagai aksi vulgar. Pokoknya demi tercapainya sebuah pemenuhan hasrat, maka segala cara dijalankan dengan mengabaikan etika, moral, agama dan budaya. Saat sekarang, kecerdasan berpolitik mulai tumbuh dimiliki masyarakat, dengan mengenal istilah politisi busuk. Dalam kontek upaya pemenuhan desakan hasrat nampaknya ada kemiripan antara politisi busuk dengan politik vulgar ala Ken Arok. Akhir kata, demi keselarasan kehidupan berpolitik di Indonesia, maka sudah saatnya kita berantas Ken Arok-Ken Arok modern.

ANDAIKAN ADA SI BELANDA HITAM

Oleh: Sapto Prajogo

Sebuah pengalaman menarik di Pasar Tradisionil kawasan Bandung Timur. Pada saat itu saya tertarik untuk membandingkan harga barang lokal dengan barang import, saya sempat terpana atas sebuah penawaran harga pakaian lokal yang hampir tidak berbeda dengan pakaian import. Hal tersebut menjadi menarik, dikarenakan kualitas bahan dari pakaian import tadi jauh lebih bagus bila dibandingkan dengan pakaian lokal.

Namun demikian perlu disadari, bahwa tingkat akurasi data tersebut masih sangat jauh dari kebenaran, dikarenakan tidak pernah melewati sebuah penelitian yang bersifat komprehensif. Bagaimanapun secuil kisah yang mungkin bersifat kebetulan tadi, adalah sebuah peringatan keras bagi kita bangsa Indonesia. Selanjutnya apabila ternyata kisah tadi akurat, terus menerus, serta terjadi menyebar di seluruh kawasan, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat efisiensi dan daya saing bangsa sangatlah rendah.

Rendahnya efisiensi tersebut, bisa jadi berkaitan dengan rendahnya integritas antara bahan baku, sistem proses produksi, sistem pasar atau lain sebab yang jauh lebih komplek. Namun sebenarnya secara perseoranganpun, banyak sekali contoh perilaku manusia Indonesia yang didominasi oleh sikap hidup tidak efisien. Akhirnya terbentuklah sistem komunitas tidak efisien dengan kecenderungan kurang berdaya.

Selain itu ada pihak yang berpendapat bahwa kondisi bangsa yang kurang berdaya tersebut dikarenakan saat sekarang Indonesia sedang dijajah secara ekonomi oleh bangsa asing, dimana fisik Indonesia adalah wujud sebuah pasar besar bagi bangsa asing. Tidak disadari manusia Indonesia memang sengaja dibuat untuk tidak pernah puas dalam memenuhi hasrat belanja, atau dengan kata lain adalah sebuah proses pemiskinan yang dimodernisasi. Lalu apa bedanya dengan masa dimana VOC menjajah Bangsa Indonesia? Perlu diketahui VOC adalah sebuah badan usaha milik Belanda, yang artinya bahwa mereka datang ke Indonesia adalah demi sebuah misi perdagangan atau misi ekonomi.

Pada Jaman VOC terdapat pengkhianat bangsa yang dijuluki ”Belanda Hitam”, hal yang menarik, terkadang mereka lebih belanda bila dibanding dengan belandanya itu sendiri. Selanjutnya bila menyimak ekonomi bangsa Indonesia yang sedang dijajah, dikhawatirkan sekarangpun ada sekelompok manusia Indonesia yang dapat digolongkan sebagai ”Belanda Hitam”.

Andaikan dugaan adanya “Belanda Hitam” ternyata benar, maka dapat dibayangkan bahwa mereka kesana-kemari sibuk ”ha-ha-he-he-ha-ha-he-he” untuk mencari peluang demi memenuhi kepentingan diri sendiri serta mengabaikan kepentingan bangsa. Celakanya dalam mencapai tujuan tersebut, si ”Belanda Hitam” ini tega membuka pintu untuk masuknya kepentingan bangsa asing.

Andaikan benar “Belanda Hitam” ini ada di sekeliling kita, maka lengkaplah sudah penderitaan Bangsa Indonesia, apabila Si ”Belanda Hitam” membiarkan bangsa sendiri dibuat untuk tidak efisien, tanpa proteksi dibiarkan menjadi bangsa konsumtif, serta aktif mendorong agar aset-aset bangsa yang potensial diserahkan ke bangsa asing. Dampak langsung dari perbuatan tersebut mungkin sangat sulit untuk dirasa dan dimengerti oleh nalar. Bila di jaman VOC, hal tersebut lebih mudah dirasa karena ditemui adanya bekas kekerasan fisik, bahkan sampai terjadi adu senjata. Namun dalam hal ini, kekerasan yang ada dalam bentuk non fisik, walaupun sebenarnya dampak sakitnya juga sama. Tragisnya, apabila kita ingin teriak akibat kesakitan, mungkin akan kebingungan arah teriaknya? Hal tersebut dikarenakan, sulit membedakan antara pribumi asli dengan si ”Belanda Hitam”.

Andaikan dugaan adanya “Belanda Hitam” ternyata benar, maka sekarang saatnya menunggu hadirnya ”Sang Pangeran Kornel” yang konsisten peduli pada nasib bangsa, serta berani menolak dan melawan kehendak Asing. Sekarang saatnya mengingatkan secara persuasif ke si “Belanda Hitam” akan pentingnya harmonisasi serta integritas berbangsa. Alhasil, dengan merdekanya bangsa Indonesia dari belenggu kepentingan ekonomi asing, maka mestinya manusia Indonesia dapat menikmati kemakmuran dengan tanpa harus dikotori hadirnya si ”Belanda Hitam”.

INDUSTRI KECIL MENENGAH BAGAIKAN SUDAH JATUH TERTIMPA TANGGA

Oleh: Sapto Prajogo

Energi merupakan kebutuhan pokok yang memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, mulai dari kegiatan sehari-hari perseorangan sampai dengan operasional sistem produksi selalu tergantung pada energi. Untuk itu dalam kondisi krisis energi, mestinya sektor informal yang ternyata mampu menyerap 99,6% tenaga kerja Indonesia atau menjangkau lebih dari 136 juta jiwa, harus mendapatkan perhatian khusus.

Saat akan diluncurkan kebijakan konversi minyak tanah, penulis pernah menjadi relawan dalam kaitan bantuan teknis ke industri kecil. Dari pengalaman di lapangan tersebut, penulis mendapat kesan, bahwa sektor industri kecil hampir tidak terperhitungkan saat muncul kebijakan tersebut. Dengan berbagai pertimbangan pada waktu itu, mereka dicoba diarahkan untuk melakukan konversi ke bahan bakar gas, namun manakala upaya tersebut belum juga terealisasi, muncul lagi kebijakan baru yang tidak memihak ke industri kecil, di mana harga jual gas untuk tabung 50 kg naik.

Penilaian bahwa industri kecil menengah tidak diperhitungkan berkaitan dengan kebijakan konversi minyak tanah sangatlah beralasan. Hal tersebut terbukti, dari berbagai pembicaraan, konsentrasi penanggulangan dampak tertuju pada keluarga tidak mampu dengan membagi kompor gas beserta tabung elpiji 3 kg secara gratis. Sebuah upaya peredaman gejolak dengan pilihan penyelesaian yang gampang karena kompor gas yang dipakai menggunakan jenis yang standar dan umum dipakai masyarakat.

Selanjutnya, bagaimana dengan nasib industri kecil menengah dalam situasi krisis energi saat ini? Mudah ditebak, bahwa mereka pasti dalam kondisi kritis. Pada saat dihantam krisis moneter, mereka masih mampu menggeliat dalam menyelesaikan kesulitannya. Namun sekarang kasusnya berbeda karena permasalahan yang dihadapi adalah pasokan energi yang tentu saja sangat tergantung pada kebijakan pemerintah. Celakanya, dalam hal ini para pengambil keputusan demikian yakinnya, bahwa mereka pasti akan mampu menyelesaikan sendiri terhadap permasalahan ini.

Perlu dipahami, secara umum permasalahan yang sekarang dihadapi industri kecil menengah, selain kendala kontinuitas pasokan energi ternyata juga menghadapi kendala teknis. Secara umum kendala teknis yang dihadapi ternyata cukup serius, disebabkan pada umumnya alat konversi energi termal (kompor/tungku/tanur) adalah tidak umum seperti yang sering dipakai masyarakat dan tidak umum di pasaran. Sementara itu, varian dari industri kecil menengah tersebut juga sangat lebar, sehingga diperlukan desain maupun dimensi alat konversi energi termal yang juga sangat bervariasi. Lebih jelasnya mereka bingung dalam menyiasati adanya perubahan iklim energi. Hal yang wajar disebabkan ketidaktahuan akan “teknologi baru” yang harus dihadapi.

Dengan perjuangan ekstra, upaya “survive” untuk berpindah ke bentuk energi primer substitusi perlu dilakukan. Hal tersebut mungkin saja dapat dilalui dengan baik, namun bagaimana dengan jaminan kontinuitas pasokan energi primer substitusi? Sebagai contoh pada gas, sekarang pun pasokan gas juga kurang lancar.

Ada pihak yang menyarankan untuk beralih ke batu bara karena relatif murah, namun upaya ini pun tidak bisa dianggap sepele. Bila diasumsikan teknologi dan dimensi tungku/kompor/tanur telah terselesaikan. Lalu bagaimana dengan abu sisa pembakaran? Bagaimana dengan jaminan pasokan batu bara, sementara tata niaga batu bara cenderung dikuasai pengelola pertambangan?Mencermati kondisi krisis energi ini dikhawatirkan akan memperluas krisis di berbagai bidang. Seharusnya pihak yang berkompeten memikirkannya secara tuntas. Tentunya pemerintah harus mau merelakan untuk berbagi kewajiban ke pihak peduli dan berkompeten yang mau mendukung penyelesaian masalah ini. Selain itu, untuk penyelesaian, tampaknya perlu dibuat posko-posko layanan yang memberikan konsultasi gratis seputar teknologi konversi dan konservasi energi.

Khusus pihak teknokrat, sebaiknya mau ikut membantu menyelesaikan permasalahan industri kecil menengah dan bukannya hanya peduli kepada industri besar yang berkarakter teknologi tinggi. Selain itu, perlu ada pergeseran paradigma dalam kaitannya dengan orientasi karya yang lebih membumi dalam menghadapi permasalahan riil di lapangan.

Prinsip kebijakan konversi minyak tanah seharusnya mampu menjamin ketersediaan energi substitusi. Pemerintah seharusnya tegas dan mau mewajibkan pemegang kuasa pertambangan dalam tanggung jawab pemenuhan pasokan energi dalam negeri. Selain itu, tatanan kebijakan sudah saatnya berubah untuk tidak lebih berorientasi pada jaminan pasokan energi ke luar negeri.

Selanjutnya, seiring dengan diumumkannya kenaikan harga BBM, kondisi industri kecil menengah saat ini bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga. Upaya survive akibat kebijakan konversi minyak tanah belum selesai, sudah datang lagi masalah, datang lagi masalah.***

PIKIRAN RAKYAT (10 Juni 2008)
Penulis : Pengamat Energi