26 Desember 2008

SEBUAH PENANTIAN DI LUMBUNG ENERGI

Oleh: Sapto Prajogo

DALAM kondisi sulit energi saat ini, maka konservasi energi mulai mendapat perhatian yang cukup serius dan menempati posisi sebagai bahan pembicaraan yang menarik. Betapa tidak, berdasarkan data intensitas energi, ternyata Indonesia adalah negara yang tingkat produktivitas pemanfaatan energinya sangat rendah bila dibandingkan banyak Negara di Asia. Hal tersebut menunjukkan bahwa energi di Indonesia dimanfaatkan secara boros.

Sebagai upaya gerakan hemat energi, maka pada tanggal 25 Agustus 2008 PLN akan memulai menerapkan kebijakan penghematan listrik tahap kedua yang mencakup mal, hotel, kantor, dan industri yang tidak terkena pergeseran jam kerja di wilayah Jawa Bali. Program tersebut merupakan lanjutan penghematan tahap pertama dengan menggeser jam kerja industri, dan untuk itu PLN hanya mendapatkan peluang penghematan sebesar 180 megawatt (MW). Sedangkan target keseluruhan program penghematan mencapai sebesar 600 MW dan seterusnya sampai dengan beroperasinya pembangkit 10.000 MW pada tahun 2009. Penghematan energi tahap kedua ini adalah untuk menggunakan genset milik pribadi pada pukul 17.00 s/d 22.00 WIB, untuk dua hari dalam sepekan.

Dengan alasan defisit energi listrik, maka dibolehkan dan sah sah saja bila menerapkan berbagai kebijakan penghematan dengan tujuan mengurangi atau bahkan menghapus adanya defisit energi. Hal menarik, pihak pelanggan energi listrik diduga akan "menurut" terhadap apapun yang diputuskan. Intinya sebuah "penyelesaian secara adat", bila memang ketersediaan pasokan energi tidak sebanding dengan permintaan, lalu mau bagaimana lagi selain menuruti kemauan produsen listrik.

Namun demikian, ada hal mendasar yang harus dipertimbangkan, bahwa proses jual beli energi listrik ini, secara tidak langsung bersifat kontraktual, dan tentunya di dalamnya tertuang adanya hak dan kewajiban kedua belah pihak. Jelasnya segala kebijakan yang akan diterapkan tersebut harus berpayung hukum dan mestinya sebisa mungkin bersifat adil.

Sebuah renungan, kebijakan penghematan energi ini akan berdampak pada masyarakat luas, oleh karena itu seharusnya melewati perencanaan yang bersifat komprehensip. Apabila mereka harus mengadakan pembelian genset serta harus mengoperasikannya, maka layak dipertanyakan, berapa barel BBM yang harus disediakan? Bagaimana dengan harga BBM dunia yang terus meroket? Bagaimana dengan jaminan pasokan BBM? Berapa nilai riil Rupiah/kWh? Bagaimana dengan kendali berbagai polutan? Bagaimana dengan nasib genset setelah pembangkit 10.000 MW beroperasi? Dan lain lain pertanyan yang bersifat teknis.

Apapun itu, semua ini merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga buat kita dan semestinya tidak boleh terulang kembali. Selanjutnya apabila mengupas kondisi kekayaan sumber daya energi primer yang dimiliki Indonesia, sebenarnya sangat berlimpah. Bisa dibayangkan, 25 persen kebutuhan batubara dunia dipasok dari Indonesia, namun sebaliknya beberapa PLTU di negeri sendiri terpaksa tidak beroperasi dikarenakan kurangnya pasokan batubara. Selain itu, potensi panas bumi Indonesia adalah terbesar di dunia, belum lagi potensi gas, biomassa maupun energi lainnya.

Hal mendasar yang harus dipertimbangkan, bahwa energi adalah pendukung utama terhadap sistem produksi. Jelasnya untuk menjamin keberlanjutan produktivitas sebuah bangsa, maka prinsip kebijakan keenergian seharusnya mampu menjamin ketersediaan energi dalam negeri. Untuk itu, Pemerintah dalam membuat tatanan kebijakan serta penerapannya sudah saatnya berubah untuk tidak lebih berorientasi pada jaminan pasokan energi ke luar negeri.

Seiring dengan itu, sudah saatnya masyarakat pengguna energi harus juga segera belajar memahami dalam memanfaatkan energi dengan bijaksana, efisien dan rasional serta tidak mentang mentang mampu membeli energi. Akhir kata, kondisi kolaps karena defisit energi ini harus segera berlalu, utamanya jangan sampai kita semua dalam kondisi penantian tidak menentu, dikarenakan kekurangan pasokan energi di lumbung energi. (*)

TRIBUN JABAR (25 Agustus 2008)
Penulis : Pengamat Energi

4 komentar:

  1. mungkin kita ini memang bangsa yang sudah mendurhakai Allah.

    sehingga hati para pemimpin kita hanya mikirin, perutnya sendiri, golongannya sendiri dan jabatannya.

    hati wakil rakyat, hanya mikirin partainya dan rakyat hanyalah keset buat ngebersihin kaki yang selalu nginjak kotoran ayam

    BalasHapus
  2. Kalau kita jalan-jalan keliling Indonesia,

    maka kita akan geleng-geleng kepala....Betapa kayanya bumi Nusantara ini,

    maka kita akan geleng-geleng kepala....Betapa kayanya pejabat di bumi Nusantara ini,

    maka kita akan geleng-geleng kepala....Betapa kayanya wakil rakyat di bumi Nusantara ini,

    maka kita akan geleng-geleng kepala....Betapa miskinnya masyarakat yang hidup di bumi Nusantara ini,

    BalasHapus
  3. itu di belakang siapa pak... hehe sukses ya pak..

    gita

    BalasHapus
  4. Saya ragu kalau rakyat Indonesia dikatakan boros energi,lha..wong untuk mendapatkan 5 liter minyak tanah atau 3 kg LPG saja ngantri kok,bagaimana mau boros ?

    Untuk mall,hotel dan kantor boleh jadi memang boros,tapi untuk rakyat saya kira kok tidak,masih banyak rakyat yang listriknya hanya 450 W atau 900 W,sebagian malah masih gelap gulita.

    Untuk mengatakan rakyat Indonesia boros energi (saya juga melihat pidatonya di TV) mestinya pemerintah menyajikan data yang akurat pemakaian energi perkapitanya baik listrik,minyak tanah,gas dll ,konversikan kesatuan energi yang sama misalnya kkal,kjoul,BTU atau yang lainnya,kemudian bandingkan dengan negara lain.

    Kalau PLTU kekurangan pasokan batubara,tanyakan yang pernah memasok,katanya sih capek nagihnya.

    Potensi biomass di Indonesia sangat besar,data dari BPS produksi padi di Jawa Barat sekitar 18 juta ton/th (2006) 20 % nya adalah sekam,bila rata-rata energinya 2000 kkal/kg,maka total tersedia 7,2 pangkat 12 kkal/th,ini setara dengan kurang lebih 2,3 juta liter minyak tanah/hari,belum dari jerami dan biomass lainnya yang pemanfaatannya masih sangat kurang.

    Negara di Asia yang sudah serius memanfaatkan sumber energi dari biomass adalah India,saat ini India memiliki 17.000 MW pembangkit listrik dengan bahan bakar biomass.
    Indonesia ?

    JL

    BalasHapus