26 Desember 2008

INDUSTRI KECIL MENENGAH BAGAIKAN SUDAH JATUH TERTIMPA TANGGA

Oleh: Sapto Prajogo

Energi merupakan kebutuhan pokok yang memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, mulai dari kegiatan sehari-hari perseorangan sampai dengan operasional sistem produksi selalu tergantung pada energi. Untuk itu dalam kondisi krisis energi, mestinya sektor informal yang ternyata mampu menyerap 99,6% tenaga kerja Indonesia atau menjangkau lebih dari 136 juta jiwa, harus mendapatkan perhatian khusus.

Saat akan diluncurkan kebijakan konversi minyak tanah, penulis pernah menjadi relawan dalam kaitan bantuan teknis ke industri kecil. Dari pengalaman di lapangan tersebut, penulis mendapat kesan, bahwa sektor industri kecil hampir tidak terperhitungkan saat muncul kebijakan tersebut. Dengan berbagai pertimbangan pada waktu itu, mereka dicoba diarahkan untuk melakukan konversi ke bahan bakar gas, namun manakala upaya tersebut belum juga terealisasi, muncul lagi kebijakan baru yang tidak memihak ke industri kecil, di mana harga jual gas untuk tabung 50 kg naik.

Penilaian bahwa industri kecil menengah tidak diperhitungkan berkaitan dengan kebijakan konversi minyak tanah sangatlah beralasan. Hal tersebut terbukti, dari berbagai pembicaraan, konsentrasi penanggulangan dampak tertuju pada keluarga tidak mampu dengan membagi kompor gas beserta tabung elpiji 3 kg secara gratis. Sebuah upaya peredaman gejolak dengan pilihan penyelesaian yang gampang karena kompor gas yang dipakai menggunakan jenis yang standar dan umum dipakai masyarakat.

Selanjutnya, bagaimana dengan nasib industri kecil menengah dalam situasi krisis energi saat ini? Mudah ditebak, bahwa mereka pasti dalam kondisi kritis. Pada saat dihantam krisis moneter, mereka masih mampu menggeliat dalam menyelesaikan kesulitannya. Namun sekarang kasusnya berbeda karena permasalahan yang dihadapi adalah pasokan energi yang tentu saja sangat tergantung pada kebijakan pemerintah. Celakanya, dalam hal ini para pengambil keputusan demikian yakinnya, bahwa mereka pasti akan mampu menyelesaikan sendiri terhadap permasalahan ini.

Perlu dipahami, secara umum permasalahan yang sekarang dihadapi industri kecil menengah, selain kendala kontinuitas pasokan energi ternyata juga menghadapi kendala teknis. Secara umum kendala teknis yang dihadapi ternyata cukup serius, disebabkan pada umumnya alat konversi energi termal (kompor/tungku/tanur) adalah tidak umum seperti yang sering dipakai masyarakat dan tidak umum di pasaran. Sementara itu, varian dari industri kecil menengah tersebut juga sangat lebar, sehingga diperlukan desain maupun dimensi alat konversi energi termal yang juga sangat bervariasi. Lebih jelasnya mereka bingung dalam menyiasati adanya perubahan iklim energi. Hal yang wajar disebabkan ketidaktahuan akan “teknologi baru” yang harus dihadapi.

Dengan perjuangan ekstra, upaya “survive” untuk berpindah ke bentuk energi primer substitusi perlu dilakukan. Hal tersebut mungkin saja dapat dilalui dengan baik, namun bagaimana dengan jaminan kontinuitas pasokan energi primer substitusi? Sebagai contoh pada gas, sekarang pun pasokan gas juga kurang lancar.

Ada pihak yang menyarankan untuk beralih ke batu bara karena relatif murah, namun upaya ini pun tidak bisa dianggap sepele. Bila diasumsikan teknologi dan dimensi tungku/kompor/tanur telah terselesaikan. Lalu bagaimana dengan abu sisa pembakaran? Bagaimana dengan jaminan pasokan batu bara, sementara tata niaga batu bara cenderung dikuasai pengelola pertambangan?Mencermati kondisi krisis energi ini dikhawatirkan akan memperluas krisis di berbagai bidang. Seharusnya pihak yang berkompeten memikirkannya secara tuntas. Tentunya pemerintah harus mau merelakan untuk berbagi kewajiban ke pihak peduli dan berkompeten yang mau mendukung penyelesaian masalah ini. Selain itu, untuk penyelesaian, tampaknya perlu dibuat posko-posko layanan yang memberikan konsultasi gratis seputar teknologi konversi dan konservasi energi.

Khusus pihak teknokrat, sebaiknya mau ikut membantu menyelesaikan permasalahan industri kecil menengah dan bukannya hanya peduli kepada industri besar yang berkarakter teknologi tinggi. Selain itu, perlu ada pergeseran paradigma dalam kaitannya dengan orientasi karya yang lebih membumi dalam menghadapi permasalahan riil di lapangan.

Prinsip kebijakan konversi minyak tanah seharusnya mampu menjamin ketersediaan energi substitusi. Pemerintah seharusnya tegas dan mau mewajibkan pemegang kuasa pertambangan dalam tanggung jawab pemenuhan pasokan energi dalam negeri. Selain itu, tatanan kebijakan sudah saatnya berubah untuk tidak lebih berorientasi pada jaminan pasokan energi ke luar negeri.

Selanjutnya, seiring dengan diumumkannya kenaikan harga BBM, kondisi industri kecil menengah saat ini bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga. Upaya survive akibat kebijakan konversi minyak tanah belum selesai, sudah datang lagi masalah, datang lagi masalah.***

PIKIRAN RAKYAT (10 Juni 2008)
Penulis : Pengamat Energi

3 komentar:

  1. itulah potret Pemerintahan kita, mikirnya hanya jangka pendek. Selesaikan suatu masalah, mengenai dampaknya pikirka saja nanti.........(kalau sempat)

    BalasHapus
  2. memutuskan tanpa berhitung secara komprehensif!!

    biasalah itu, makanya sampai kapanpun rakyat Indonesia bakal susah.

    penyelesaiannya : politisi-politisi dan pejabat yang sekarang manggung harus tahu diri dan MUNDUR

    BalasHapus
  3. andai saja ada solusi teknis mengenai kesulitan enerji industri kecil, saya yakin akan memberikan pencerahan di masa yang akan datang sebagai alternatif. tapi menyimak dari tulisan 'bung' saya merasa sangat sangat yakin. anda pasti memiliki semuanya itu. bagi-bagi dong. hhehehe....

    BalasHapus