12 Januari 2009

JANJI POLITIK PARTAI HARUS DITAGIH

Spirit NTT, 19-25 Mei 2008

Oleh: Sapto Prajogo

Pemilihan Umum yang merupakan pesta demokrasi untuk pemilihan Legislatif akan segera dilaksanakan. Pemilu tersebut diharapkan dapat dilaksanakan dengan sukses, aman dan hampir tidak ada konflik serta mampu menjadi pembelajaran mencerdaskan kehidupan berpolitik bagi seluruh elemen bangsa Indonesia

Namun bila mengamati suasana meriahnya selebaran, pamlet serta spanduk di jalanan serta riuhnya ruang buat paparan iklan politik di media masa, nampak demikian mudahnya bagi para calon pemimpin politik dalam hal menebar janji-janji politik. Sebuah cara mudah sebagai upaya membangun citra, serta upaya memenuhi ruang harapan dari konstituennya Selanjutnya apabila yang bersangkutan terpilih serta berhasil menduduki jabatan politik, maka permasalahan seharusnya belumlah selesai. Hal yang wajar, karena janji adalah sebuah hutang dan konsekuensinya bahwa hutang haruslah dibayar.

Secara politik, hal tersebut memang merupakan tantangan bagi para kandidat untuk menggali permasalahan yang berkembang di Masyarakat. Namun demikian, bila mempertimbangkan kondisi perpolitikan yang ada serta meningkatnya kecerdasan politik yang ada di Masyarakat, sebenarnya dampak dari janji politik tersebut mudah ditebak, yaitu Gedung Kantor Legislatif bakal “ramai” bertebaran ”surat tagihan” dari berbagai elemen Masyarakat. Tagihan tadi ada yang berupa komentar di media, ada yang bersumpah akan terus mengawal janji, bahkan ada yang dengan cara demo.

Bisa jadi sebuah janji politik perlu dilakukan untuk meningkatkan citra kandidat. Namun demikian bisa jadi janji politik adalah sebuah wujud komunikasi politik yang kurang bijaksana. Bahkan ada pendapat, bahwa janji politik sebaiknya tidak dilakukan. Apapun itu, sebentar lagi Indonesia akan menghadapi sebuah kenyataan, bahwa akan bermunculan pejabat-pejabat politik yang selalu menggendong “beban janji politiknya”, dan telah mendapat legitimasi kuat dari Masyarakat Indonesia. Selanjutnya tergantung kepada Masyarakat Indonesia, para Pejabat Politik yang berbekal janji tersebut mau diapakan.

Apapun wujud janji yang telah dilontarkan, dan bila kelak terpilih memenangkan pertarungan Pemilu, maka dapat disimpulkan bahwa janji-janji politik yang telah dilontarkan tersebut, adalah perwujudan ekspresi impian Masyarakat Indonesia. Akhirnya muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar terhadap cara menyikapi janji-janji politik, apakah harus terus ditagih? Apakah tidak perlu ditagih? Apakah terus ditagih tetapi dibarengi dengan dukungan? Apakah dilupakan saja, pokoknya didukung? Atau apapun yang terjadi, tidak perlu dipedulikan.

Dari fakta sejarah, menebar janji politik bukanlah hal baru bagi Masyarakat Indonesia, dan sebenarnya dengan tingkat kecerdasan berpolitik sebagian besar Masyarakat Indonesia, sebenarnya sudah mampu memaknainya serta mampu mengevaluasi kualitas janji dari sebuah partai maupun kadernya. Respon yang paling mudah adalah janganlah dipilih lagi para kader yang berasal dari partai gemuk yang dikarenakan rajin menebar janji-janji kosong.

Mungkin sebaiknya sebagai bagian dari keluarga Indonesia, kita perlu membuka pintu maaf bagi kebohongan-kebohongan politik yang pernah dilontarkan. Namun demikian bila pintu maaf tersebut terlalu sering dibuka dan ditutup, sampai kapan engsel pintu maaf tersebut akan bertahan?

Sebuah usulan pemikiran serta ajakan buat kelompok elit yang mampu serta mau melindungi kepentingan masyarakat jelata, bagaimana bila sebisa mungkin janji politik tersebut dikumpulkan, dilegitimasi dengan tanda tangani oleh si penebar janji (tentu saja mewakili partainya), untuk kelak menjadi bahan tagihan ke kader serta partai yang bersangkutan. Nah, dari tagihan ini merupakan rapot bagi kader serta partai yang bersangkutan untuk kepentingan sebagai panduan masyarakat di pemilu selanjutnya.

Namun permasalahannya banyak yang pesimis:

Siapa serta elit mana yang mau memikirkan nasib Rakyat Indonesia?

Siapa serta elit mana yang mau melindungi hak politik Rakyat Indonesia?

Siapa serta elit mana yang mau meluangkan waktu demi Rakyat Indonesia?

4 komentar:

  1. setuju sekali Pak Sapto!!

    Para politikus kita memang poli-tikus
    mereka dengan ringannya tebar janji-janji kosong dan tidak rasional.

    pokoknya janji dulu, konstituen percaya.....pilih...tinggal janji

    pokoknya jangan ada yang percaya janji-janji manis para poli....tikus kita

    BalasHapus
  2. nah pak Bambang mulai emosi kan!! santai saja Pak.

    Kalau politikus (termasuk wakil rakyat)disebut poli....tikus, terus saya sebagai rakyat jadi apa dong?

    Apalagi rakyat memilihnya!
    Apalagi rakyat yang jadi tim suksesnya!
    Aalagi rakyat yang nggak tahu apa-apa dan nggak segaja milih!!

    Kasihan kita rakyat dong, kalau yang dipilih poli.....tikus

    BalasHapus
  3. Setelah tgl 9 kemaren, sepertinya "Pesta" Demokrasi di Indonesia baru saja masuk ke dalam tahap awal, tahap dimana para elit parlemen (pusat, daerah) bingung, sibuk menyusun program kerja, proyek kerja, mengaplikasikan hasil pembelajran politik yang didapat dari kampanye dan serangan fajar.
    Sebenarnya tahap yang sangat esensial adalah ketika banyaknya partai di Indonesia saling "melebur" menjadi 1..,2...,3...,4....atau bahkan 41, sudah saling melengkapi calon2nya dengan setelan jas lengkap dengan pecinya. Bisa sama-sama kita lihat 4 bulan lagi, fenomena seperti apa yang akan terjadi di percaturan politik di Negara kita yang "di blow up" melalui mekanisme pemilihan suara terbanyak. Saya cuma rakyat biasa, hanya mempergunakan hak saya untuk mengeluarkan pendapat, memilih, dan berusaha menjadi warga negara Indonesia dengan baik dan benar...
    Wassalam...

    BalasHapus
  4. Tulisan Anda bagus Pak Sapto, dan akan lebih bagus lagi kalau dikirim ke media massa, agar kontribusinya kepada masyarakat lebih besar, atau mungkin sudah, di mana?

    Selamat berjuang, kami keluarga guru berada pada jalur khusus pendidikan (alias minterke murid), politik agak jauh dari jangkauan. Oke?

    Selamat, selamat, dan terima kasih.

    Sulistyorini
    guru basa jawa
    sma loro sala

    BalasHapus